Yogyakarta – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengungkapkan bahwa jika budaya dilihat melalui kacamata yang sempit, maka terkesan banyak tidak bolehnya.
Padahal, kata Haedar, budaya yang hidup di tengah masyarakat itu juga menyemarakan praktik-praktik keagamaan.
Guru Besar Sosiologi itu mencontohkan tradisi atau budaya syawalan yang dimiliki oleh muslim di Indonesia.
Haedar sepakat bahwa budaya Syawalan tidak termasuk ibadah, akan tetapi tidak serta merta kemudian Syawalan dianggap menyalahi agama.
“Bahkan ditambah lagi, saling mengunjungi, salam-salaman, dan di Jawa juga ada tradisi sungkeman, tradisi cium tangan,” ungkap Haedar beberapa waktu lalu saat Pembukaan Rakernas Bersama LSB dan LPO PP Muhammadiyah di UMY.
Haedar meminta supaya pemilik pandangan yang kontradiktif antara agama dan budaya ini jangan dijadikan hanya sebagai alasan supaya dianggap beda.
Dia menilai, seni dan budaya yang substantif dalam pandangan Muhammadiyah adalah mubah. Kecuali seni dan budaya tersebut malah menjadi penyebab melupakan dan menjauh dari Allah.
“Wilayah seni itu adalah wilayah yang mubah, boleh dilakukan. Dia menjadi haram ketika membuat orang menjauh dari Allah, itu biasanya dari praktek seni budaya itu, bukan watak dasar dari seni dan budaya. Bahkan juga seni dan budaya yang semakin mendekatkan diri pada Allah juga banyak,” ungkapnya.
Agama yang sifatnya mutlak, menurut Haedar sebagaimana pandangan dari Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah meliputi wilayah aqidah, ibadah, dan akhlak. Bahkan dalam akhlak, Muhammadiyah tidak mengenal akhlak situasional.(*)