Oleh Apris
Sekretaris PWM Sumbar
ADA seorang pemuda yang ditemani dua orang kawannya, mendatangi Gedung Dakwah Muhammadiyah Sumbar, Rabu pekan lalu. Ia minta izin untuk bertemu dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) yang sedang rapat pleno siang itu, untuk melaporkan sesuatu.
Setelah dipersilahkan masuk dan dia pun menyampaikan laporannya. Didahului dengan memperkenalkan diri, namanya Siddiq, sedangkan temannya bernama Inggit dan Fakhri.
Dari laporan yang disampaikan Sidiq diketahui, kalau dia baru saja menyelesaikan tugas selama tiga tahun di Sumpur Kudus, sebagai Anak Panah Muhammadiyah, dan mohon pamit, kembali ke Yogyakarta untuk meneruskan studi S2-nya.
Siddiq menambahkan, yang memintanya untuk menjadi anak panah Muhammadiyah adalah Buya Syafii Maarif, ketua PP Muhammadiyah Periode 2005-2010.
Ketika tahun 2022, bulan Agustus, dia bersama temannya Inggit diminta buya untuk mengikuti program Anak Panah Muhammadiyah, dan dia menyanggupinya. Tugas utamanya adalah menghidupsuburkan Persyarikatan Muhammadiyah di cabang dan ranting Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Tugas tersebut telah dilaksanakannya, antara lain dengan menggerakkan cabang dan ranting, memberikan pengajian, menghidupkan kegiatan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan mengadakan latihan Tapak Suci.
Terakhir, dia ikut terlibat dalam pelaksanaan Musyda Muhammadiyah Sijunjung, dan Muscab Muhammadiyah Kecamatan Sumpur Kudus.
Tanggal 10 Agustus ini, Siddiq kembali ke Yogyakarta, dan Anak Panah Muhammadiyah itu akan melanjutkan kuliah S2-nya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sedangkan temannya Inggit, akan meneruskan tugasnya sampai 2025.
Istilah Anak Panah Muhammadiyah itu tidak bisa dilepaskan dari sosok Buya Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah dan seorang negarawan. Ketika tamat Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1956, beliau ditugaskan menjadi Anak Panah Muhammadiyah di Pohgading, Pranggabaya, Lombok Timur.
Di antara tugasnya adalah mengajar di PGA Muhammadiyah Pohgading. Selama lebih kurang satu tahun, Syafii muda menjadi guru dan muballigh di sana. Kemudian beliau Kembali ke Yogya melanjutkan kuliahnya.
Pengalaman sebagai Anak Panah Muhammadiyah itu sangat berkesan bagi Buya, sehingga ia sudah sejak lama ingin meneruskan program itu. Pada 2020 berhasil menemukan dua anak muda lulusan S1 yang bersedia menjadi Anak Panah Muhammadiyah Shidiq dan Inggit asal Yogyakarta, yang sudah kita kisahkan di atas.
Dari pengalaman Sidiq dan Inggit di atas, agaknya banyak hal yang bisa kita petik pelajaran untuk diambil manfaatnya.
Pertama, terjadinya program pengiriman Anak Panah Muhammadiyah ke Sumpur Kudus itu bertolak dari adanya kerisauan seorang tokoh, terhadap kondisi perkembangan Muhammadiyah di kampung halamannya.
Meskipun beliau sudah tokoh Muhammadiyah tingkat nasional, memimpin Muhammadiyah tidak hanya di Indonesia bahkan sampai keluar negeri, tetapi merasa ada yang kurang, ketika Muhammadiyah di kampungnya tidak hidup dan tidak berkembang.
Untuk itu, ada upaya yang dilakukannya dengan mengirimkan kader mewakili dirinya untuk berbuat bagi kampung halamannya, dan ternyata itu berhasil. Tentu apa yang dilakukan Buya, dapat menginspirasi para pimpinan Muhammadiyah di tingkat apa pun, untuk melakukan hal yang sama seperti yang dicontohkan Buya di atas.
Kedua, Sidiq dan Inggit, sebagai Anak Panah Muhammadiyah, yang siap ditembakkan itu, mungkin tidak hanya mereka berdua. Banyak lagi anak-anak panah yang lain, mereka adalah angkatan muda kita yang merupakan kader-kader muda, yang sudah ditempa di organisasi otonom, sebut saja IPM, IMM, NA, Pemuda, Tapak Suci dan Hizbul Wathan, yang siap menjadi anak panah Muhammadiyah untuk jangka waktu tertentu dengan tugas khusus, menunggu adanya busur yang akan menembakkan mereka.
Busurnya adalah para pimpinan dan tokoh Muhammadiyah di mana pun berada. Contoh bagi yang di Padang, bisa mengirimkan anak panah ke daerah-daerah untuk menghidupkan Muhammadiyah di kampung halamannya.
Di samping itu, lembaga-lembaga Pendidikan Muhammadiyah seperti Universitas Muhammadiyah Sumbar, pondok-pondok pesantren, diharapkan dapat pula berperan sebagai busur yang akan menembakkan anak panah yang sudah ditempanya ke daerah-daerah, untuk menghidupsuburkan cabang dan ranting Muhammadiyah.
Ketiga, menghidupsuburkan cabang dan ranting Muhammadiyah bukanlah perkara mudah. Perlu ada tenaga penggerak yang mempunyai semangat, ghirah dan pengetahuan serta keterampilan untuk menggerakkan persyarikatan, mereka sering disebut sebagai kader.
Keberadaan kader penggerak itu di ranting dan cabang Muhammadiyah sangat diperlukan. Untuk itu, sudah harus ada kesinambungan program Anak Panah Muhammadiyah tersebut, atau program dan kegiatan lain yang semacam itu. Wallahi a’lam.***